Sebelum film ini diputar, beberapa orang menentang dan meminta pemboikotan terhadap film ini karena dikatakan memiliki unsur Kristenisasi. Padahal film ini hanya memperlihatkan mengenai kemanusiaan saja: http://www.21cineplex.com/slowmotion/tanggapan-film-soegija-mengenai-isu-pemboikotan,2997.htm
Ini terbukti dari tidak adanya satu pun ayat Alkitab yang ditampilkan di film tersebut.
Pada saat pemutaran, panjang film seharusnya adalah 3 jam. Namun dipotong habis habisan sehingga tinggal 1 jam 45 menit. Banyak adegan yang dipotong yakni mengenai keakraban Uskup dengan Soekarno, adegan tentang terbunuhnya beberapa imam, dan tentang Jugun Ianfu.
Jadi ada yang mengatakan bahwa film ini kurang nyambung adegan-adegannya karena pemotongan diluar batas itulah penyebabnya. Sehingga yang lebih banyak muncul adalah mengenai Hendrick dan Mariyemnya. Namun beruntunglah film ini dapat lolos penyeleksian Lembaga Sensor Film sehingga masih dapat ditonton.
Dan setelah diputar pun, film ini mendapat sebuah kritikan terhadap perjuangan dari uskup Soegijapranata tersebut. Berikut adalah kritikannya.
Perlawanan Soegija terhadap Jepang Dinilai Bukanlah Hal HeroikSumber: http://www.hidayatullah.com/dev/read/23408/02/07/2012/perlawanansoegijaterhadapjepangdinilaibukanlahhalheroik.html
Hidayatullah.com--Nama Albertus Soegija atau dikenal sebagai Pastur Soegija menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Hal tersebut tidak lain dengan kehadiran Film Soegija besutan Garin Nugroho. Namun Kandidat Doktor Sejarah UI, Tiar Anwar Bachtiar punya pandangan lain menyangkut penokohan Soegija dalam film yang diperankan Direktur Salihara, Nirwan Dewanto itu.
“Selama jadi pastur, Soegija dibiayai (digaji) oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat Jepang datang, semua fasilitas bagi gereja dihapus, termasuk gaji para pastur dan biaya untuk gereja,” ujar Tiar kepada hidayatullah.com, Senin 2 Juli 2012.
Tiar menjelaskan bahwa Jepang membatasi gerakan orang-orang Kristen karena dianggap ‘antek-antek’ Belanda.
“Jadi, kalau Soegija melawan Jepang, itu sesungguhnya bukan suatu yang heroik,” sambung pengarang berbagai buku sejarah ini.
Selama menjajah Indonesia, lanjut Tiar, Belanda membiayai semua jenis missi dan zending. Terlebih saat Partai Katolik menjadi pemenang di Parlemen Belanda.
“Karena itu, dalam sejarahnya, karena misi dan zending dibiayai pemerintah kolonial, tidak pernah tercatat ada pastur yang ‘memberontak’ melawan Belanda,” tegasnya yang juga menjadi peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini.
Tiar berpendapat film ini terlalu menonjolkan sisi-sisi yang "dianggap heroik" dan "kemanusiaan", sementara sisi yang lain seperti perselingkuhan misi dengan pemerintah Belanda tidak diangkat ke permukaan.
“Tapi, tentu saja itu hak dari orang-orang Katolik yang ingin menonjolkan perannya di negeri ini. lagi pula, Soegija memang sudah dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia.”
Akan tetapi, ia berpesan, jangan karena film ini masyarakat sengaja dilupakan akan fakta bahwa kristenisasi di negeri ini adalah salah satu buah dari kolonialisme Spanyol, Portugis, dan Belanda.
“Soal bagaimana penilaian, itu tergantung dai sudut pandang mana orang menilai. yang penting fakta sejarah jangan ada yang ditutupi,” tutupnya.
Seperti diketahui, sosok Soegija tak bisa dilepaskan dari sosok Frans Van Lith, tokoh Yesuit yang sangat aktif melakukan kegiatan misi melalui pendidikan dan budaya Jawa.
Dari kritikan tersebut maka akan timbul pertanyaan, apakah benar missi gereja telah melakukan perselingkuhan terhadap penjajah Belanda seperti yang dikatakan oleh Nirwan Dewanto tersebut ?
Justru sebaliknya, Gereja Katolik dalam penyebaran agama tidak sepenuhnya berada di bawah Hindia Belanda. Karena Katolik selalu di bawah Vatikan. Memang pernah tercatat pada tahun 1835, pemerintah Hindia Belanda yang memberi gaji para imam, tetapi pemerintah Belanda menuntut janji kesetiaan dari para imam yang berujung penolakan (perselisihan) pada tahun 1848, dimana Katolik dibatasi perkembangannya. (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Roman_Catholicism_in_Indonesia#Brief_history)
Van Lith |
Terakhir, ada pula pesan dalam film Soegija bahwa Vatikan adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan negara Indonesia. Padahal selama ini yang diketahui menjadi negara tersebut adalah Mesir dan adapula yang mengatakan Palestina. Apakah itu benar ? Setelah ditelusuri rupanya hal ini telah dijawab oleh seorang penjawab dari fitur Google Tanya Jawab berikut ini: http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=62108192f36de6a3
Negara Vatikan adalah negara Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia dan Vatikan merupakan negara yang memiliki pengaruh besar terhadap arah politik dunia khususnya bagi negara-negara sekutu seperti Amerika dan Inggris. Namun beberapa sejarahwan Indonesia mengklaim Mesir dan Palestina sebagai negara pertama, mana yang benar ? Cara termudah adalah melihat kapan berdirinya negara-negara tersebut dengan hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945). Mesir walaupun dilepas sejak tahun 1922 oleh Britania Raya, namun karena sengitnya pergolakan politik dan sistem pemerintahan, maka Mesir baru dideklarasikan sebagai negara republik pada tahun 1953, sedangkan Palestina terlibat perseteruan yang masih berlangsung sampai saat ini dan baru memproklamirkan kemerdekaannya pada 15 November 1988. Vatikan menjadi negara terkecil di dunia yang berdiri secara independen dan absolut sejak 11 Februari 1929. Lebih lanjut kita saksikan saja film "Soegija", sebuah film sejarah yang menampilkan peran aktif seorang pahlawan Nasional dalam berjuang secara diplomasi, meng-gaung-kan.
kemerdekaan Indonesia di kancah politik dunia. (sumber: Google)
Artikel Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar