Umumnya agama Buddha memandang homoseksualitas merupakan halangan untuk mencapai kesucian batin pada kehidupan saat itu juga karena mereka yang homoseksual tidak dapat mengembangkan pandangan terang (vipassana) akibat kekotoran batinnya yang selalu "bergejolak" dari waktu ke waktu. Namun demikian, mereka masih dapat menanam benih kebajikan (kusala kamma) dengan mengembangkan sila dan berdana. Kelahiran sebagai homoseksual merupakan akibat dari perbuatan buruk di masa lampau, di antaranya mengkebiri orang lain, merendahkan pertapa yang menjalankan sila, melanggar sila karena nafsu seksual, dan mengajak orang lain untuk melakukan pelanggaran sila akibat nafsu seksual.
Vinaya melarang penahbisan seorang homoseksual (pandaka) dan mengharuskan pelepasan jubah bagi anggota Sangha yang terbukti homoseksual karena dapat mengganggu kehidupan suci komunitas Sangha. Selain itu, dalam Vinaya seorang bhikkhu yang memasukkan (maaf) alat kelaminnya ke dalam salah satu lubang tubuh makhluk apa pun (termasuk sesama pria atau seorang pandaka) akan dikeluarkan dari Sangha.
Cakkhavatti-sihanada Sutta (Digha Nikaya 26) menyebutkan praktek menyimpang (miccha-dhamma) menyebabkan generasi manusia yang dulunya memiliki usia rata-rata 500 tahun berkurang usianya menjadi 250 tahun pada generasi berikutnya. Menurut komentar, miccha-dhamma yang dimaksud adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki dan antara perempuan dengan perempuan. Dengan demikian, homoseksualitas dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan penurunan moral manusia.
Pelanggaran sila ke-3 (melakukan perbuatan asusila) bagi umat awam dikatakan sebagai "kehendak yang dilakukan melalui tubuh dengan cara yang tidak bermoral untuk melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang tidak seharusnya disetubuhi". Bagi pria, orang-orang yang tidak seharusnya disetubuhi dijelaskan sebagai 20 jenis wanita yang tidak boleh disetubuhi (diantaranya wanita yang masih dalam perlindungan orang tua atau kerabatnya, wanita yang merupakan kerabat dekat yang dilarang dalam adat masyarakat, wanita yang menjalani hidup selibat/bhikkhuni, wanita yang sudah terikat janji pernikahan atau pertunangan dengan pria lain walaupun bersifat sementara, dst). Namun Buddhaghosa dan beberapa komentator teks Buddhis lainnya menambahkan pria ke dalam kategori "orang yang tidak seharusnya disetubuhi" ini.
Sedangkan untuk hubungan sesama wanita, kitab-kitab Buddhis India tidak banyak membicarakannya selain larangan bagi bhikkhuni untuk melakukan hubungan sesama jenis. Hal ini disebabkan karena hubungan heteroseksual (lawan jenis) lebih populer menjadi pusat perhatian pada masa Sang Buddha dan sangat sedikit kasus homoseksual yang dijumpai pada masa itu (walaupun bukan berarti tidak ada).
Sesungguhnya, apa pun orientasi seksualnya, rasa kecintaan yang ditimbulkan dari nafsu untuk memuaskan kenikmatan seksual tetaplah merupakan rintangan bagi perkembangan batin/spiritual. Seperti yang disebutkan dalam Dhammapada XVII:213-215 berikut:
"Dari kenikmatan lahirlah kesedihan, dari kenikmatan lahir rasa takut; barang siapa yang bebas dari kenikmatan akan tidak merasakan kesedihan maupun ketakutan."
"Dari cinta lahirlah kesedihan, dari cinta lahirlah rasa takut, seseorang yang bebas dari rasa cinta tidak mengenal kesedihan maupun ketakutan."
"Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul rasa takut, barang siapa bebas dari nafsu maka ia tidak akan merasakan rasa padih maupun rasa takut."Lalu, bagaimana bisa pernikahan tersebut dapat dengan mudahnya dilakukan oleh umat Buddha itu sendiri dan dilangsungkan pada tempat ibadah agama Buddha tersebut ? Beberapa penjelasan pada artikel berikut ini telah menjawabnya.
Artikel Terkait:
lgbt its not always about sex it doesnt matter if youre a hetro or not
BalasHapus